Negara Harus Adil: Krisis Iklim dan Ancaman Penghidupan Nelayan Akibat PLTU Batubara di Bengkulu

- 12 April 2023, 01:39 WIB
 Kanopi Hijau Indonesia menyajikan fenomena ini dalam bentuk film pendek berjudul "Punah," yang diluncurkan pada 11 April 2023.
Kanopi Hijau Indonesia menyajikan fenomena ini dalam bentuk film pendek berjudul "Punah," yang diluncurkan pada 11 April 2023. /

IKOBENGKULU.COM - Sebanyak 28.431 nelayan tradisional di 5 kantong di Provinsi Bengkulu menghadapi ancaman kehilangan mata pencaharian mereka karena krisis iklim.

Cuaca ekstrem, kenaikan permukaan dan suhu air laut menjadi bentuk dari krisis iklim ini, yang terutama disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang terus meningkat karena aktivitas manusia.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara menjadi salah satu penyumbang emisi terbesar, yakni sebesar 44%.

Namun, negara terus menggunakan batubara meski telah mengetahui fakta ini. Terdapat 33 unit PLTU batubara dengan kapasitas 3.566 Megawatt (MW) di Sumatera yang beroperasi saat ini, dan Rencana Usaha Pemenuhan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pemerintah menambahkan PLTU batubara sebesar 4.000 MW.

Di Provinsi Bengkulu, terdapat satu PLTU batubara berkapasitas 2x100 MW di Teluk Sepang dan bongkar muat batubara serta tempat penumpukan batubara (stokpile) di pesisir Teluk Sepang.

Dampaknya adalah para nelayan tradisional di Teluk Sepang Kota Bengkulu terancam kehilangan mata pencaharian mereka.

Baca Juga: PT TLB Buang Limbah Abu PLTU ke TWA Pantai Panjang, Aktivis Lingkungan Mengecam

Sejak tahun 2019 hingga tahun 2022, pendapatan ikan menurun drastis. Didukung oleh data UPTD Pelabuhan Perikanan Pulau Baai Bengkulu pada 2019, produksi ikan nelayan mencapai 8,6 juta ton, tetapi menurun menjadi 7,5 juta ton pada 2020, 4,2 juta ton pada 2021 dan terus merosot menjadi 2,4 juta ton pada 2022.

Kondisi ini memaksa para nelayan menghentikan aktivitas melautnya dan beralih mencari pekerjaan di darat sebagai buruh tani, buruh nelayan, kuli bangunan, hingga pembuka terpal dan bongkar batubara.

Dendi, nelayan tradisional di Teluk Sepang, sangat tergantung pada melaut untuk mencari nafkah. Dia mengeluhkan cuaca yang buruk dan sulitnya mencari ikan.

"Dampak yang kami rasakan, sering kali hasil tangkapan kami sedikit dan pendapatan sangat kecil. Hanya Rp. 40.000 bahkan nol. Hal ini diperburuk oleh keberadaan PLTU dan stokpile batubara. Limbah cair dari PLTU, getaran PLTU serta air danau Teluk Sepang menjadi hitam akibat batubara, mengakibatkan ikan tak ada," katanya.

Kanopi Hijau Indonesia menyajikan fenomena ini dalam bentuk film pendek berjudul "Punah," yang diluncurkan pada 11 April 2023.

Manager Kampanye Anti Tambang Kanopi Hijau Indonesia, Hosani Hutapea, memberikan penjelasan terkait film pendek berjudul "PUNAH" yang diluncurkan pada tanggal 11 April 2023.

Ia menyatakan bahwa film tersebut adalah gambaran kecil dari kisah nelayan di berbagai tempat yang terdampak oleh krisis iklim, khususnya terkait keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara.

Hosani juga menegaskan bahwa solusi atas krisis iklim adalah Negara harus segera mempensiunkan PLTU batubara dan beralih ke energi yang adil dan berkelanjutan. ***

 

Editor: Iyud Dwi Mursito


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah