Perjuangan Perempuan Merawat Rumah Pusaka, Warisan Budaya Para Leluhur

- 30 November 2022, 19:55 WIB
Sri Astuti, perempuan yang merawat Umeak Meno'o atau dalam Bahasa Indonesia Rumah Pusaka seorang diri
Sri Astuti, perempuan yang merawat Umeak Meno'o atau dalam Bahasa Indonesia Rumah Pusaka seorang diri /Ikobengkulu.com/Iman Kurniawan/

IKOBENGKULU.COM - Di era serba moderen seperti sekarang, rasa-rasanya tidak banyak orang yang mau melakukan pekerjaan seperti Sri Astuti, perempuan berusia 53 tahun ini. Dia harus mencurahkan tenaga, pikiran dan materi untuk merawat warisan kebudayaan para leluhur  yang kini sudah mulai ditinggalkan banyak orang.

Di samping berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, hari-hari perempuan dengan sapaan Sri ini dihabiskan untuk merawat Rumah Adat Suku Rejang yang didirikan pada tahun 1901.

Rumah Adat Rejang itu diberi nama Umeak Meno’o atau dalam Bahasa Suku Rejang berarti Rumah Pusaka. Rumah tradisonal khas Suku Rejang itu berdiri dengan luas 240 Meter per segi ( 10 x 24 M), di atas lahan seluas 1.600 Meter per serge (40 x 40 M).

Baca Juga: Mengenal Sosok Prof. Abdullah Siddik, Sang Diplomat Ulung Kepercayaan Soekarno dari Bengkulu

Di bagian dalam rumah, juga banyak tersimpan koleksi benda-benda kuno yang dia peroleh dari hasil pemberian orang atau pun dia beli dengan dana pribadinya.

Benda-benda kuno tersebut seperti, keris, cangkir, piring, cawan, keramik-keramik, mangkok, ranjang antik, pakaian adat dan masih banyak lagi lainnya. Di samping itu, juga terdapat peralatan-peralatan tradisional yang saat ini sudah nyaris tak lagi orang gunakan. Seperti, penumbuk padi dari kayu, bubu untuk menangkap ikan dan lainnya.

Kemudian, masih di atas lahan yang sama terdapat miniatur lumbung padi atau bangunan tempat orang dahulu menyimpan padi untuk persiapan pada saat musim paceklik tiba. Sehingga masyarakat pada masa itu, tidak kesulitan mendapatkan beras, karena ada simpanan.

Baca Juga: Kisah Masuknya Suku Bugis ke Bengkulu dan Daeng Mabella yang Gagah Berani

Menariknya, Sri merawat rumah yang sarat dengan filosofi tersebut hanya seorang diri, menggunakan dana pribadinya. Terkadang, dia harus mengeluarkan dana hingga jutaan rupiah untuk merawat rumah adat dan benda-benda kuno yang tersimpan di dalamnya..

“Terkadang ada bagian rumah yang rusak dan harus diperbaiki. Kemudian, benda-benda kuno yang ada di dalam rumah harus mendapat perawatan khusus agar tidak rusak. Misalnya keris, harus dirawat menggunakan minyak khusus, agar tetap terawat dengan baik,” ujar Sri kepada Ikobengkulu.com saat ditemui di kediamannya Rumah Meno’o, Desa Air Meles Atas, Kabupaten Rejang Lebong.

Sri Mencintai Rumah Adat Sejak Kanak-kanak

Cuaca siang itu cukup cerah, tidak seperti biasanya nyaris saban hari hujan mengguyur Kabupaten Rejang Lebong.

Ketika saya tiba, Rumah Meno’o tampak lengang, tidak ada tanda-tanda aktivitas orang di dalamnya.

Rupanya, Sri sang pemilik rumah sedang membantu tetangganya, layaknya perempuan-perempuan desa di Kabupaten Rejang Lebong pada umumnya.

Kebetulan saat itu ada tetangga rumah Sri yang akan menggelar hajatan. Sudah menjadi kebiasaan, tradisi di Kabupaten Rejang Lebong setiap ada tetangga yang akan melaksanakan hajatan, para perempuan sekitarnya ikut membantu di dapur, menyiapkan bahan makanan untuk para undangan.

Sri Astuti
Sri Astuti

Baca Juga: Asal-usul Keturunan Sultan Bangkalan Madura, Panembahan Cakraningrat IV di Bengkulu

Tidak berselang lama, Sri tiba menyapa dengan ramah dan mempersilahkan saya menaiki Rumah Meno’o. Begitu menaiki anak tangga, sangat terasa sekali aura eksotismenya.

Rumah kuno yang terawat dengan baik, hanya dengan seorang perempuan berusia setengah abad lebih. Tidak bisa dibayangkan, kalau Pemerintah Daerah setempat ikut turun tangan membantu melakukan perawatan dan pengembangan, tentu akan menjadi lebih baik lagi.

Di teras rumah panggung belantai papan tua namun kokoh, kami berbincang-bincang. Sri menceritakan, bagaimana awal mula dia rela menghabiskan waktunya hanya untuk merawat rumah kuno, suatu tindakan yang mungkin jarang dilakukan oleh kebanyakan orang.

Sri menceritakan, mulai tertarik dengan rumah kuno sejak dia masih berusia kanak-kanak. Setiap berkunjung ke suatu daerah, jika melihat ada rumah tua, dia selalu ingin melihat dari jarak lebih dekat.

Diperhatikannya rumah tersebut dengan seksama, jika diperkenankan oleh tuan rumah untuk masuk, perasaannya akan sangat senang bukan kepalang. Kesukaan yang tidak lazim bagi anak-anak seusianya pada masa itu. Jika anak-anak lainnya lebih tertarik mengunjungi arena permainan, Sri justru lebih tertarik mengunjungi tempat-tempat bersejarah.

Setelah bertambahnya usia, kecintaan Sri kepada rumah kuno semakin menjadi-jadi. Bahkan, bukan hanya sekedar melihat,  Sri saat itu bermimpi ingin memiliki rumah kuno sendiri.

Salah satu sudut Umeak Meno'o atau Rumah Pusaka, rumah adat Suku Rejang
Salah satu sudut Umeak Meno'o atau Rumah Pusaka, rumah adat Suku Rejang

Setelah dewasa, Sri semakin sering mengunjungi rumah-rumah kuno, baik yang terdapat di Kabupaten Rejang Lebong maupun rumah kuno di luar Kabupaten Rejang Lebong. Rumah-rumah kuno hasil jepretannya, kemudian dia unggah ke media sosial.

Dia semakin sering mengunggah rumah kuno hasil jepretannya ke media sosial. Dari media sosial akhirnya dia berkenalan dengan seseorang perempuan, peneliti adat kebudayaan kelahiran Padang yang berdomisili di Bandung, namanya Beril C Samuel.

“Ibu Beril sangat tertarik dengan rumah-rumah yang saya unggah di media sosial dan waktu itu beliau menyarankan kepada saya agar saya membeli salah satu rumah kuno di Rejang Lebong,” cerita Sri.

Sri saat itu mengungkapkan, bahwa dirinya tidak punya dana untuk membeli rumah kuno, karena harganya cukup mahal. Namun, yang membuat Sri kaget, Beril yang hanya dikenalnya melalui media sosial itu menawarkan pinjaman uang agar Sri bisa memiliki rumah kuno sendiri.

“Awalnya saya agak takut juga, karena kami hanya kenal di media sosial, belum pernah ketemu langsung sama sekali, tapi Ibu Beril terus meyakinkan saya,” kata Sri.

Keragu-raguan Sri mulai Sirna, karena Beril benar-benar mengunjungi Kabupaten Rejang Lebong untuk melihat rumah kuno yang diunggah Sri secara langsung, bukan hanya dari media sosial.

“Tahun 2016, beliau (Beril) datang ke Rejang Lebong sendirian dengan biayanya sendiri. Salut saya dengan  Ibu Beril,” imbuh Sri.

Pada saat ke Rejang Lebong, Sri mengajak Beril untuk melihat rumah adat yang berdiri di depan Rumah Dinas Bupati Rejang Lebong. Rupanya, Beril kurang begitu tertarik, karena rumah tersebut termasuk rumah baru. Maksudnya, rumah adat yang memang baru dibangun, menggunakan bahan bangunan yang baru.

Beril ingin melihat rumah kuno berusia tua, bangunan yang masih asli menggunakan bahan-bahan lama. Diajaklah waktu itu Beril ke sebuah rumah yang terdapat di Kelurahan Kesambe Baru, Kabupaten Rejang Lebong.

Rumah tersebut dibangun sekitar tahun 1901 Masehi atau 1322 Hijriah. Rumah itu awalnya milik Ali Jemun, yang kemudian diangkat sebagai Imam di masa Pesirah Pangeran Panjang pada tahun 1920.

Setelah Ali Jemun wafat, rumah kuno tersebut sudah berganti kepemilikan, dibeli oleh salah seorang pengusaha di Rejang Lebong. Sejak itu, rumah tersebut dibiarkan kosong.

Meski sudah berusia ratusan tahun, namun rumah tua tersebut masih berdiri kokoh. Banyak ukiran-ukiran dan ornamen asli menghiasi rumah yang kini jadi milik Sri Astuti itu. Tak hanya itu, rumah tua tersebut dibangun dengan konstruksi anti gempa. Karena terdapat sloop yang terbuat dari kayu mengelilingi bangunan.

Peralatan tradisional koleksi Umeak Meno'o yang sekarang sudah jarang orang menggunakannya
Peralatan tradisional koleksi Umeak Meno'o yang sekarang sudah jarang orang menggunakannya

Beril langsung tertarik dengan rumah tua itu dan mengajurkan agar Sri dapat membelinya. Karena, meski tampak kokoh, tapi rumah tua tersebut terkesan kurang terawat.

“Setelah melihat rumah tua di Kelurahan Kesambe Baru itu, Ibu Beril meminta saya untuk membelinya. Kata Ibu Beril waktu itu ‘tidak banyak orang yang mau mendedikasikan dirinya untuk merawat dan melestarikan kebudayaan, kalau bukan kita yang melakukannya, siapa lagi?’ kata Ibu Beril saat itu menguatkan batin saya,” ujar Sri mengisahkan.

Agar Sri bisa memiliki rumah kuno tersebut, Beril bersedia memberikan pinjaman uang tanpa bunga dan bisa dibayar atau dicicil kapan pun. Hal tersebut, semata-mata karena kecintaan Beril akan kebudayaan Tanah Air, yang saat ini semakin terkikis dilindas modernisasi.

“Ibu Beril tidak mau rumah kuno itu hilang begitu saja. Kata Ibu Beril, ‘banyak orang yang sanggup menghabiskan uangnya untuk membangun gedung megah, tapi sedikit sekali orang yang menghabiskan uangnya untuk melestarikan kebudayaan, merawat rumah-rumah kuno,’ kata Ibu Beril saat itu kepada saya,” ungkap Sri.

Batin Sri yang semula bimbang, akhirnya semakin mantap untuk memiliki rumah kuno tersebut. Beril perempuan alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) telah meyakinkannya.

Banyak wejangan Beril yang disampaikan kepada Sri, yang akhirnya membuat Sri yakin membeli rumah kuno dengan dana yang tidak sedikit. Kepada Sri, Beril pernah berujar, ‘merawat rumah kuno, melestarikan kebudayaan memang tidak membuat orang menjadi kaya materi. Bahkan, harus rela mengeluarkan dana pribadi. Tapi, ada kepuasan batin yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain.’

“Setelah saya menjalani merawat rumah kuno ini, benar apa yang dikatakan Ibu Beril. Saya benar-benar mendapat kepuasan batin,” imbuh Sri.

Walau sudah memiliki kemantapan hati, tapi untuk memiliki rumah tersebut ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Karena ternyata, sang pengusaha pemilik rumah yang baru tidak mau menjual rumah kuno tersebut.

Namun, Sri terus meyakinkan bahwa niatnya membeli rumah tersebut hanya untuk merawat dan melestarikan peninggalan kebudayaan para leluhur.

Berhari-hari, berminggu-minggu Sri berusaha meyakinkan sang pengsaha, si pemilik rumah kuno yang baru. Melihat niat Sri yang tulus, akhirnya luluh juga hati sang pengusaha dan bersedia menjual rumah kuno tersebut kepada Sri. Tapi, hanya rumahnya saja, tidak dengan tanahnya.

Waktu itu, rumah tersebut dijual kepada Sri seharga Rp32 juta. Sri sepakat. Namun, persoalan baru pun muncul, karena yang dijual hanya rumahnya saja, tidak dengan lahannya. Itu artinya, rumah tersebut harus direlokasi ke tempat yang baru.

Pinjam Uang di Bank untuk Membeli Rumah Kuno

Setelah hatinya sudah yakin dan mantap untuk membeli rumah tua di Kelurahan Kesambe Baru itu, Sri memberanikan diri meminjam uang di Bank  Rp250 juta dan SK PNS-nya jadi jaminan.

Sri mengaku, tidak ingin terlalu memberatkan Beril yang semula telah menawarkan pinjaman kepadanya. Meski demikian, Beril tetap membantu memberi tambahan dana sebesar Rp28 juta, untuk memperbaiki bagian atap rumah yang kondisinya memang sudah rusak parah.

Uang hasil pinjaman Bank tersebut Sri gunakan untuk membeli rumah kuno, kemudian membeli lahan, biaya membongkar dan biaya membangun kembali di atas lahan yang baru, biaya memperbaiki dan mengganti bahan bangunan yang sudah rusak dan tidak bisa digunakan lagi, serta untuk biaya lainnya.

“Saya meminjam uang Bank, dan harus membayar cicilannya sampai saya pensiun (tahun 2029),” kata Sri yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar itu.

Tahun 2017, rumah kuno yang disebut Umeak Meno’o itu mulai direlokasi dan dibangun kembali. Kendati direlokasi di tempat yang baru, Sri tidak mengubah bentuk arsitekturnya, persis seperti awalnya dulu sebelum direlokasi.

Rumah panggung dengan ukuran 10 x 24 Meter itu terdapat teras memanjang dan ruang tamu yang besar. Selain itu di rumah ini juga terdapat tiga kamar berukuran cukup besar dan dapur.

Bagian depan rumah terdapat ukiran yang masih asli. Bukan hanya sekedar ukiran, tetapi ada nilai  filosofisnya.

Sri menjelaskan, bahwa ukiran yang memanjang di bawah atap bagian depan rumah tersebut adalah ukiran menyerupai akar buah linggur yang merambat. Mengapa akar linggur tersebut bisa sampai ke atas? Karena ada tiang sebagai penopangnya, sehingga akar linggur itu bisa merambat hingga ke atas dan berbuah.

“Maknanya, untuk bisa mencapai puncak kesuksesan kita butuh penopang, yaitu agama, adat, budaya dan ilmu pengetahuan. Jadi orang dulu, tidak sembarangan membuat ukiran, bukan hanya sekesar untuk indah-indahnya saja,” jelas Sri.

Bahan bangunan Rumah Meno’o masih tetap menggunakan bahan bangunan yang lama. Hanya mengganti beberapa bagian saja, yang memang sudah rusak parah dan tidak bisa lagi digunakan.

Tampak pada Rumah Meno’o kusen-kusen besar dan jendela yang terbuat dari kayu berukuan besar, kemudian tiang-tiang besar yang masih asli dari bangunan sebelumnya. Hanya beberapa lantai yang diganti, karena kondisinya sudah lapuk.

Sri mengungkapkan, kecintaannya akan kebudayaan semata-mata karena panggilan jiwa. Karena dia tidak ingin, kebudayaan Tanah Air, khususnya kebudayaan Suku Rejang punah, karena tak ada yang mau melestarikannya.

Apalagi di era digitalisasi saat ini, semua informasi sudah tak terbendung lagi. Bisa dengan mudah diterima oleh generasi penerus melalui alat yang bisa digenggam dan dibawa kemana saja.

Kebudayaan asing bisa masuk dengan konten-konten yang menggiurkan. Dia masuk ke ruang-ruang pribadi, ke kamar-kemar, ruang keluarga. Sehingga generasi muda sebagai generasi penerus sangat rawan melupakan kebudayaan aslinya, sehingga kehilangan identitas aslinya. Mereka lebih cinta kebudayaan asing, yang sebenarnya asing bagi dirinya sendiri.

Sementara, tidak banyak orang yang peduli dengan kebudayaan asli Indonesia, khususnya Suku Rejang. Karena kecintaan Sri terhadap terhadap kebudayaan, maka Sri merasa terpanggil untuk merawat dan melestarikan produk kebudayaan Suku Rejang.

Apalagi setelah pertemuannya dengan Beril, semakin memantapkan dirinya untuk terjun sebagai perempuan yang merawat warisan kebudayaan para leluhur.

“Saya merasa terpanggil untuk merawat dan melestarikan peninggalan Suku Rejang. Seperti ungkapan Ibu Beril, ‘bahwa kitalah yang melestarikannya’,” ungkapnya.

Merawat Umea Meno’o Sendiri

Beberapa bagian di Umeak Meno’o ada yang mulai rusak. Seperti pada bagian jendela di ruangan belakang dan ruangan depan, kayunya sudah mulai patah dan butuh perbaikan.

Sayangnya, Sri belum bisa memperbaiki kerusakan tersebut karena terkendala dana. Untuk memperbaiki kerusakan tersebut paling tidak butuh anggaran beberapa juta. Karena, Sri juga memiliki rencana untuk menambah atap bagian samping rumah. Sebab, selama ini jika hujan turun cukup deras airnya sampai ke dinding rumah. Dia khawatir jika dibiarkan terlalu lama, bisa menyebabkan dinding rumah yang terbuat dari papan itu jadi cepat rusak. Selain itu, kondisi cat rumah yang sudah mulai pudar rencananya akan dicat ulang.

 “Kalau dihitung-hitung dari mulai relokasi sampai sekarang, jumlah uang yang dikeluarkan sudah cukup banyak. Tapi saya tidak pernah menghitung berapa totalnya. Ya, saya jalani saja, Kalau ada dana atau bahan material saya kerjakan. Kalau belum tunggu dananya dulu. Seperti taman di depan itu, kebetulan lagi ada semen satu sak, saya kerjakan sendiri,” tukas Sri menunjuk taman yang ada di depan Umeak Meno’o.

Sri Bercita-cita Punya Balai

Setelah selesai dibangun ulang pasca direlokasi, Umeak Meno’o mencuri perhatian banyak orang. Tidak sedikit orang yang datang untuk melihat langsung Umeak Meno’o, baik dari dalam kota atau pun luar kota.

Salah satu sudut Umeak Meno'o atau Rumah Pusaka dengan berbagai koleksinya
Salah satu sudut Umeak Meno'o atau Rumah Pusaka dengan berbagai koleksinya

Umeak Meno’o menjadi objek tujuan wisata, khususnya wisata sejarah dan budaya. Wisatawan yang datang bukan hanya dari kalangan umum, tetapi banyak juga dari kelompok pelajar yang datang bersama gurunya, untuk melihat langsung warisan budaya para leluhur.

Umeak Meno’o bukan hanya sekedar rumah adat, tetapi sudah seperti museum yang menyimpan benda-benda kuno bersejarah. Melihat antusias masyarakat, Sri semakin mencintai kebudayaan Suku Rejang dan ingin mengembangkan Umeak Meno’o.

“Di Umeak Meno’o ini juga ada sanggar tari tradisional, pengajarnya teman saya. Kami dirikan sanggar tari ini bersama Juwita, salah seorang anggota DPRD perempuan di Rejang Lebong,” imbuh Sri.

Karena sudah ada sanggar dan juga sering dijadikan tempat wisata edukasi para pelajar, Sri bercita-cita mendirikan balai tempat berkumpul persis di samping Umeak Meno’o. Namun, niatnya mendirikan balai masih sekedar cita-cita, karena untuk meminjam uang ke bank sudah tidak mungkin lagi. Jadi sekarang dia hanya berharap, suatu saat ada sumber rezeki lain yang bisa mewujudkan cita-citanya membangun balai.

“Tangganya sudah saya buat, tinggal bangunan balainya yang belum. Mudah-mudahan nanti ada rezeki untuk membangun balai,” harap Sri.

Dia berharap, dengan adanya Umeak Meno’o bisa menjadi penyeimbang di tengah gempuran kebudayaan asing yang semakin masif. Paling tidak, meski tidak banyak, masih ada sisa-sisa warisan budaya para leluhur yang bisa dilestarikan, sehingga generasi penerus tidak benar-benar kehilangan identitas aslinya.

Semoga saja ada pihak-pihak terkait yang dapat bersinergi membangun dan mengembangkan Umeak Meno’o. Karena bagaimana pun juga, Sri hanyalah seorang perempuan biasa yang butuh kerja sama dengan berbagai pihak. Entah sampai kapan dia mampu menjalaninya sendiri.***

Editor: Iman Kurniawan


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x