Sendok untuk pengacau gula diselipkannya di pinggangnya. Waktu air tebu itu menguap dengan hebatnya, hingga melimpah ke luar, Gulap ribut berteriak..teriak, “Mana sendok, mana sendok?”
Mendengar Gulap ribut beteriak, sang putri pun keluar dari kamar, katanya “Hai, kak Gulap. Sendok itu ada di belakangmu”. Gulap menolah ke belakang, lalu mereka bertemu pandang, sambil tersenyum.
Kata Gulap pada putri itu, “Sudah sekian lama aku merindukanmu, tapi baru kali ini aku dapat melihat kecantikan adinda”. Sang putri tersenyum penuh pengertian. Dalam keasikan mereka, lupalah ia akan tugasnya. Hingga air gula itu meluap terus dan akhirnya hanya tinggal setempurung lagi (tempurung kelapa).
Tak lama kemudian Raja pulang. Raja memanggil Gulap, katanya. “Mengapa hanya ini, gulanya wahai Gulap”.
“Air tebu tadi tumpah Tuan. Banyak yang meluap ke luar”, Jawabnya.
“Kalau begini terus kerjamu, bisa musnah harta bendaku”. Kata Raja. “Tuan marah padaku?”, Tanya Gulap.
“Tidak, aku hanya memberi nasehat padamu”, Jawab Raja itu. “
“Nah Gulap, besok pagi kita memetik sayuran di kebun”. “Baiklah Tuan”, Katanya.
Esok harinya dibawanyalah karung untuk tempat sayuran. Tiba di kebun, Raja memerintahkan Gulap di badan lembah. Setelah sayur agak banyak dipetik Gulap masuk ke dalam karung. Dibagian atas ditimbuninya dengan sayuran.
Raja berteriak memanggil Gulap, Gulap diam di dalam karung itu tidak menyahut.