Bapak Aswanda disuruh kembali ke dusunnya. Oleh karena Aswanda sangat rajin dan pandai pula mengambil hati Sunan, lalu pada suatu hari Sunan memanggilnya dan berkata,
“Aswanda, kamu sekarang sudah lama bekerja di sini. Umurmu sudah mulai dewasa. Kamu sangat rajin. Oleh sebab itu engkau kuanggap bukan sebagai budak lagi, tetapi sebagai anggota keluarga istana Sunan Palembang ini. Tugasmu sebagai pengawal Putri Ayu, karena Putri Ayu sudah mulai besar. Asuhlah dia, anggaplah ia seperti adikmu sendiri.”
Demikian Aswanda sudah sepuluh tahun bekerja di istana, Baginda Sunan Palembang. Aswanda sudah. menjadi dewasa. Wajahnya tampan, tubuhnya kekar tinggi semampai, lagi pula pandai bersilat dan membela diri serta paham akan ilmu perang, berkat ketekunannya belajar di istana dengan para prajurit dan hulu balang. Akhirnya ia diberi raja sebilah keris pusaka untuk menjaga putri. Tetapi pada saat Sunan memberikan keris pusaka itu, beliau berkata.
Baca Juga: Kalender Kata-Kata Bijak ‘24 Mei’
“Aswanda, ingatlah olehmu bahwa keris ini adalah keris pusaka kraton dan keramat pula. Sekali-kali tidak boleh hilang. Kalau hilang, nyawa taruhannya. Engkau harus ingat Aswanda, bukan nyawamu saja, tetapi juga nyawa keluargamu dan orang sedusunmu akan menjadi tumbalnya. Keris ini kuberikan kepadamu untuk menjaga putriku”. Gemetar tubuh Aswanda mendengar sabda raja Sunan itu. Mau ditolak tidak mungkin. Lalu keris itu disimpan baik-baik oleh Aswanda, agar jangan hilang.
Pada suatu hari, Aswanda mendapat tugas mengawasi Putri Ayu mandi ditepian raja, tempat sepuluh tahun yang lalu, rakit ayah Aswanda terbentur di situ. Sebenarnya hati Aswanda terasa kurang enak hari itu. Tetapi untuk melarang Putri Ayu mandi di sungai yang sedang besar airnya itu sudah tidak mungkin. Lalu Aswanda termenung, teringat akan dusun yang ditinggalkan sepuluh tahun yang lalu. Teringat akan ibunya serta adik-adiknya. Mungkin sekarang sudah besar.
Dalam keasyikan lamunannya itu, tiba-tiba ia terkejut mendengar jeritan anak wanita. Tidak salah itu adalah Putri Ayu. Bersamaan dengan itu, terpeciklah air sungai, dan tampak ekor buaya yang langsung menghilang ke dalam air. lnduk inang pengasuh sekitar itu ikut terpukau menyaksikan peristiwa itu. Tanpa pikir panjang lagi Aswanda terjun ke dalam air mengejar buaya yang membawa Putri Ayu. Lama sekali Aswanda tidak menampakkan dirinya.
Orang telah ramai sekitar tepian itu. Sunan juga sudah berada di tempat itu, Baginda kelihatan gelisah sekali. Tiba-tiba Aswanda muncul dari permukaan air, da1am keadaan terengahengah keletihan. Susah sekali ia akan berkata. Lama-lama keluar dari mulutnya satu-persatu mengatakan bahwa Putri Ayu dibawa oleh seekor buaya putih warnanya lagi besar badannya ke dalam sebuah gua di bawah air. la tak dapat mengejarnya lagi karena sangat gelap keadaan dalam gua itu. Lalu ia teringat akan keris pusaka raja. Sete1ah tenaganya sudah pulih kembali, lalu ia berlari ke rumahnya mengambil keris itu. Setelah dapat, terjunlah kembali ia ke dalam air. Air bersibak dan berbuih. Di dalam air itu, keris tampak menyala dan terang sekali. Dengan mudah Aswanda dapat menemui gua tempat sarang buaya putih yang telah membawa Putri Ayu. Setelah buaya berhadapan dengan keris Aswanda, serta merta lemah tak berdaya. Aswanda berusaha menyeret buaya putih itu ke luar gua dan langsung menyeretnya ke permukaan air.
Setelah berada di permukaan air, buaya itu ditariklah beramai-ramai ke darat. Temyata buaya itu telah mati. Lalu perut buaya dibelah, dan kelihatanlah Putri Ayu, seolah-olah tertidur tanpa Iuka sedikit pun di badannya. Putri Ayu dikeluarkan. Jenazah Putri Ayu dengan penuh khidmat dibawa ke Keraton.
Lain halnya dengan Aswanda, setelah buaya putih sudah ditarik ke darat, Aswanda meraba-raba pinggangnya. Kiranya keris pusaka itu sudah tidak ada lagi di tangannya. Keris pusaka itu sudah terlepas ketika ia berusaha menarik buaya itu dari dalam gua.