Kamu Wajib Tahu!, Inilah Cacat Hewan Yang Tidak Sah Dijadikan Hewan Kurban

- 24 Juni 2022, 22:54 WIB
Cacat hewan yang membuat tidak sah dikurbankan/pinterest
Cacat hewan yang membuat tidak sah dikurbankan/pinterest /

IKOBENGKULU.COM/PRMN - Berkurban merupakan suatu ibadah yang memiliki nilai pahala yang sangat besar.

Namun apa jadinya, jika berkurban menggunakan hewan yang cacat fisik?

Perlu diketahui salah satu syarat hewan kurban adalah sehat dan tidak cacat.

Lantas jenis cacat seperti apa yang menyebabkan hewan tersebut tidak sah dijadikan hewan kurban?

Baca Juga: Astagfirullah!, Larangan Ini Wajib Dijauhi Bagi Orang Yang Akan Berkurban

Dikutip IKOBENGKULU.COM/PRMN dari buku Fikih Kurban karangan Al-Ustadz Hari Ahadi, menjelaskan jenis-jenis cacat pada hewan yang menyebabkan tidak sah untuk hewan kurban. Berikut ulasannya.

Mengenai hal ini, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. Dari al-Bara' bin Azib, ia berkata, "Rasulullah berdiri di tengah-tengah kami seraya bersabda, Empat macam hewan yang tidak boleh dijadikan kurban, yaitu: hewan yang tampak jelas salah satu matanya buta, terlihat jelas sakitnya, tampak jelas pincangnya, dan hewan kurus yang tidak bersumsum". (H.R.Ahmad [18510] dan empat orang Imam [Abu Dawud (2802), at-Tirmidzi (1497), an-Nasa'i (4369), Ibnu Majah (3144)]. Hadits ini dinilai shahih oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban)

Empat hal di atas menjadi tolak ukur kecacatan yang membuat hewan tidak sah dijadikan hewan kurban.

Hal ini berarti, yang lebih parah dari empat jenis cacat di atas otomatis juga tidak sah dijadikan hewan kurban. Seperti misalnya, yang kedua matanya buta (bukan hanya satu) atau kakinya patah (yang tentunya lebih parah dari sekadar pincang).

Namun berbeda halnya jika kecacatan-kecacatan ini hanya sedikit. Sehingga tidak memberikan dampak pada dagingnya, maka tetap sah digunakan untuk berkurban.

Mengenai hal ini, terdapat empat pembahasan yang membuat sebagian orang bertanya-tanya.

1. Bagaimana jika cacat hewan kurban terjadi belakangan, padahal dibeli dalam kondisi baik?

Seumpama, seseorang sudah menegaskan bahwa hewan yang dia beli adalah hewan untuk kurban. Lalu setelahnya hewan kurban itu jadi patah kakinya, atau sakit parah, dalam keadaan ini maka harus dilihat latar belakang terjadinya kecacatan itu.

Jika disebabkan keteledoran dalam menjaganya, maka dia harus mengganti hewan kurbannya dengan hewan lain, memiliki kualitas yang sama atau lebih baik. Jika dia tetap sembelih, maka tidak sah sebagai hewan kurban.

Sedangkan, jika dia sudah menjaga hewan kurbannya dengan baik, namun pada akhirnya terjadi kecacatan tersebut, maka hewan itu tetap disembelih dan sah sebagai kurbannya. Hukum sah ini merupakan pendapat mayoritas ulama sebagaimana dinukilkan oleh Ibnu Qudamah.

2. Bagaimana hukum berkurban dengan hewan yang bunting?

Kebanyakan ulama tidak memasukkan kehamilan hewan kurban sebagai kecacatan. Yang artinya tidak masalah jika disembelih untuk kurban.

Al-'Allamah Muhammad bin Ibrahim r.a berkata: "Sah hukumnya berkurban dengan kambing yang bunting".

Hanya saja, dalam madzhab Syafi'i hamilnya hewan digolongkan sebagai bentuk kecacatan yang menyebabkan hewan tidak sah untuk dikurbankan, dengan alasan keberadaan janin tentu merusak bentuk normal perut hewan dan jadi berdampak pada menurunnya kualitas daging.

Maka memilih hewan yang tidak hamil tentu jalan yang paling selamat sehingga keluar dari perselisihan ulama.

Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad berkata: "Sah berkurban dengan hewan yang bunting. Tapi sebaiknya dihindari".

Namun, jika seandainya sudah terbeli baru diketahui bahwa hewannya sedang bunting maka tetap sah untuk dikurbankan sebagaimana yang jadi pendapat mayoritas ulama.

3. Bagaimana status anak hewan kurban saat sudah lahir?

Jika hewan yang sudah dipersiapkan untuk kurban melahirkan sebelum hari penyembelihan, maka anak hewan tersebut statusnya juga hewan kurban, demikian yang diterangkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (13/375). Jadi pada hari penyembelihan anak hewan itu juga disembelih.

4. Apakah status janin hewan kurban menjadi halal ketika induknya sudah disembelih?

Para ulama menerangkan, bahwa kondisi janin hewan saat induknya disembelih ada dua, dan masing-masing memiliki hukum yang berbeda.

Pertama: jika janin tersebut sudah mati maka secara status janin tersebut sudah disembelih secara syari dengan disembelihnya induknya, artinya statusnya halal dikonsumsi.

Hal ini berdasarkan pada hadis: "Penyembelihan janin ialah dengan menyembelih induknya". (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi)

Kedua: janinnya masih dalam kondisi hidup. Bila demikian maka janin tersebut harus disembelih karena halalnya daging hewan yang masih hidup ialah dengan cara disembelih. Demikian yang ditegaskan oleh Imam Ahmad.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan: "Daging janin hewan tidak bagus dikarenakan tertahannya darah dalam tubuhnya. Meski statusnya tidak haram".

Oleh sebab itu, jauh sebelum masa beliau, para ulama telah menganjurkan agar tetap menyembelih janin hewan yang didapati dalam keadaan sudah mati. Abdullah bin Umar mengatakan: "Jika unta telah disembelih maka penyembelihan janin yang ada di perutnya sudah diwakili dengan penyembelihan terhadap induknya, yaitu bila telah sempurna wujudnya dan tumbuh bulu-bulunya. Apabila janin tersebut sudah keluar dari perut induknya, maka disembelih agar darah keluar dari tubuhnya". ***

Editor: Ade Julian

Sumber: Buku


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah