Pada malam harinya, Raden Alit sudah merasa lelah, lalu ia meninggalkan tempat itu sambil berkata, “Kalau kalian tidak puas, datanglah ke tempat kami”. Lalu ia menjemput tunangannya dipersembunyian dan segera berangkat dari tempat itu, menuju Bengkulu.
Lama kelamaan tibalah mereka di Ujung Karang, Tapak Paderi sekarang. Ketika datangnya Raden Alit, Rindang Papan dan Lemang Batu telah ada menunggu di sana. Raden Alit menceritakan peristiwa yang dialaminya dan memberitahukan yang akan terjadi. Lemang Batu menyatakan bahwa ia telah bersedia untuk dijadikan peluru meriam, jika pasukan Aceh datang menyerang.
Kira-kira dua hari kemudian tampak di tengah-tengah lautan sebuah kapal pasukan Aceh telah tiba. Meriam diletuskan, Lemang Batu yang telah menjadi peluru meriam tadi melayang lalu turun di kapal pasukan Aceh. Lemang Batu mengatakan, “Kalian datang ke sini, apakah dengan maksud baik atau dengan maksud jahat? Kalau jahat kita sama-sama hancur di kapal ini.” Pimpiman pasukan Aceh menjawab, “Kami datang dengan maksud baik, karena kami akan menemui sang putri.”
Mendengar keterangan yang demikian, pasukan Aceh dipersilahkan mendarat. Kemudian berdamailah mereka. Raden Alit akan tetap melangsungkan pernikahannya dengan tunangannya. Sedangkan anak Raja Aceh dijodohkan dengan saudara sepupu Raden Alit sendiri. Maka eratlah hubungan persahabatan antara Bengkulu dan Aceh.***