Huru-Hara Berdarah di Benteng Kematian (Bagian 2)

- 24 Mei 2022, 01:30 WIB
Ilustrasi/
Ilustrasi/ /

Karya : Hardiansyah

Hujan turun dengan lebatnya di sore itu. Petir sesekali terdengar keras membelah angkasa. Mendekati sore seperti ini biasanya penduduk dusun tak ada yang berani keluar. Apalagi hujan deras seperti ini. Pasalnya gerombolan rampok Rimbo Pengadang biasanya tengah berkeliaran mencari mangsa. Apalagi di musim panen lada seperti ini. Mereka tidak akan segan-segan untuk menghabisi penduduk dan merampas lada mereka. Minggu lalu seorang petani lada ditemukan tewas di dekat gerbang desa. Besar kemungkinan karena di begal dengan gerombolan rampok yang ganas itu. Terbukti dengan satu kereta penuh lada berhasil mereka sikat.

Di tengah hujan deras tersebut agak jauh dari gerbang desa kira-kira sepenanakan nasi jauhnya, tampak seorang pemuda berbaju coklat tengah basah kuyup kehujanan. Sesekali melirik ke kanan dan kiri mencari pondok penduduk yang bisa ia tempati untuk berteduh. Langkahnya biasa saja namun jika kita melihatnya ia seperti berlari cepat. Nyatalah ia adalah seorang pendekar dari rimba persilatan tanah Bangkahulu ini. Namanya Batik Nau, usianya masih muda sekitar dua puluh tiga tahunan. Wajahnya yang tampan tertutup air hujan yang mengguyuri kepalanya. Sampai di suatu tempat, ia melihat dangau petani. Langsung saja ia menuju dangau tersebut untuk berteduh. Tanpa disadari puluhan sosok mata di balik kerimbunan pohon tengah mengintainya.

Batik Nau segera membuka bajunya yang basah. Ia peras baju tersebut hingga agak lembap dan ia gunakan kembali. Lumayan walau lembap. Tangannya ia gosok-gosokkan satu sama lain.

“Sudah satu minggu aku berjalan, namun tak ku temukan juga tempat kediamannya” Batinnya

“Kalau idak ketemu kek orang itu sampai bulan purnamo, pacak urusan ambo tambah berek ko” Lamunnya lagi.

Lamunannya pun pudar saat puluhan tubuh ternyata telah mengepung dangau tempat ia berteduh. Batik Nau tetap tenang di tempatnya. Satu persatu ia perhatikan orang-orang yang mengepung dangaunya ini. Mereka bertampang beringas dengan golok yang mereka sarungkan di pingang. Tertawa-tawa mereka melihat Batik Nau.

“Ah…. Mengapa aku harus berurusan dengan rampok teri seperti ini. Menghabiskan waktu saja” Batin Batik Nau.

Seseorang yang sepertinya pimpinan rampok tersebut tertawa dan menegur Batik Nau dengan keras.

Halaman:

Editor: Iyud Dwi Mursito


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x